Herry Guru Pesantren Rudapaksa 12 Santriwati, Tak Panik dengan Korban Hamil, Malah Katakan Ini

 


TRIBUN-BALI.COM – Seorang Guru di Pesantren Herry Wirawan tega rudapaksa 12 Santriwati dan kini memiliki Sembilan bayi.

Hal mengejutkan pun diungkap oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Aksi rudapaksa Guru Pesantren Herry Wirawan, guru mengaji ini pun telah ia lakukan sejak tahun 2016 hingga 2021.

Dalam fakta persidangan mengungkapkan jika delapan dari sembilan bayi tersebut didaftarkan sebagai anak yatim piatu.

"Fakta persidangan mengungkap bahwa anak-anak yang dilahirkan oleh para korban diakui sebagai anak yatim piatu dan dijadikan alat oleh pelaku untuk meminta dana kepada sejumlah pihak," ungkap LPSK.

LPSK pun meminta Polda Jabar mengungkap dan menelusuri aliran dana yang dipakai Herry Wirawan serta dugaan penyalahgunaan dana bantuan.

 "LPSK mendorong Polda Jabar juga dapat mengungkapkan dugaan penyalahgunaan, seperti eksploitasi ekonomi, serta kejelasan perihal aliran dana yang dilakukan oleh pelaku dapat diproses lebih lanjut," pungkas LPSK dikutip Tribun-Bali.com dari TribunJateng.com pada Jumat, 10 Desember 2021.

Bayi Hasil Tindakan Rudapaksa Pelaku Diasuh Orangtua Korban 

Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Garut Diah Kurniasari mengatakan 8 dari 11 santriwati yang menjadi korban rudapaksa tersebut semuanya telah melahirkan.

"Selama enam bulan ini semuanya sudah lahir, tadi saya lihat di TV masih disebutkan dua korban masih hamil. Tidak, sekarang semua sudah dilahirkan," ujarnya saat menggelar jumpa pers di Kantor P2TP2A Kabupaten Garut, Kamis, 9 Desember 2021 malam.

Ia menuturkan, saat ini semua bayi tersebut sudah dibawa oleh orang tua korban.

Adapun korban saat ini masih menjalani trauma healing di rumah aman P2TP2A.

"Bayinya semuanya sudah ada di ibu korban masing-masing," ucapnya.

Trauma healing yang dilakukan P2TP2A tidak hanya dilakukan kepada korban rudakpaksa, namun juga diberikan kepada orangtua korban.

Diah menjelaskan, sejak awal pihaknya sudah mempersiapkan korban untuk siap jika suatu saat masalah mereka terkuak ke publik.

"Kondisi korban saat ini Insya Allah sudah lebih kuat, kami sudah jauh-jauh hari mempersiapkan mereka selama ini untuk siap menghadapi media," ucapnya.

Korban, menurutnya, masih terikat persaudaraan dengan korban lainnya karena sebelumnya saling ajak untuk bersekolah di pesantren tersebut.

Rata-rata umur korban berusia 13 hingga 15 tahun.

Tanamkan Guru Harus Ditaati Kepada Korban Rudapaksa 

pada berkas dakwaan persidangan, korban yang hamil pun mengadukan kondisinya kepada Herry.

Namun, guru tersebut bukannya panik malah atau meminta untuk menggugurkan kandungan.

"Biarkan dia lahir ke dunia, bapak bakal biayai sampai kuliah, sampai dia mengerti, kita berjuang bersama-sama," kata Herry Wirawan seperti dikutip di berkas dakwaan jaksa.

Herry Wirawan juga menjanjikan masa depan untuk santriwati korban saat hendak dirudapaksa. Mulai dibiayai kuliah hingga dijadikan polwan.

Kolase - Pelaku Rudapkasa Santriwati ((Istimewa dan Tribunjabar.id/Cipta Permana))

Selama mendapat pengajaran dari si guru pesantren bejat ini, santriwati dicekoki pemahaman bahwa guru harus ditaati.

Bahkan, salah satu korban, terpaksa menuruti kemauan Herry Wiryawan karena pepatahnya soal ketaatan pada guru.

"Guru itu Salwa Zahra Atsilah, harus taat kepada guru," kata Herry Wirawan di berkas dakwaan.

Janji Pelaku pada Korban

Tak hanya itu, pelaku bahkan juga mengiming-imingi para korbannya beragam janji.

Herry, yang mengajar di beberapa pesantren dan pondok, mengiming-imingi korbannya menjadi polisi wanita.

Iming-iming tersebut tercantum juga dalam surat dakwaan dan diuraikan dalam poin-poin penjelasan korban.

"Terdakwa menjanjikan akan menjadikan korban polisi wanita," ujar jaksa dalam surat dakwaan yang diterima wartawan, Rabu.

Selain menjadi polisi wanita, pelaku menjanjikan kepada korbannya untuk menjadi pengurus pesantren.

Herry juga menjanjikan kepada korban akan dibiayai kuliah.

"Terdakwa menjanjikan anak akan dibiayai sampai kuliah," ujarnya.

peristiwa pilu itu terjadi saat dirinya mengawal pertemuan para orangtua dengan anak-anaknya di Kantor P2TP2A Bandung, setelah dibawa keluar dari lingkungan pondok pesantren oleh penyidik Polda Jabar.

Kondisi yang sama, menurut Diah, juga terjadi di Kantor P2TP2A Garut saat para orangtua yang tidak tahu anaknya menjadi korban pencabulan guru ngajinya diberi tahu kasus yang menimpa anaknya, sebelum akhirnya mereka dipertemukan pertama kali di Kantor P2TP2A Bandung sebelum dibawa ke P2TP2A Garut.

Menurut Diah, selain berat menerima kenyataan anaknya jadi korban, para orangtua juga kebingungan membayangkan masa depan anak-anaknya dan lingkungan tempat tinggal mereka yang dikhawatirkan tidak bisa menerima.

"Di kecamatan ini (lingkungan rumah korban), saya sampai datang beberapa kali nengok yang lahiran, ngurus sekolahnya, ketemu tokoh masyarakatnya," katanya.

Orangtua Korban Terima Dampingan Psikologi

Kasus ini, menurut Diah, sangat-sangat menguras emosi semua pihak, apalagi saat dilakukan terapi psikologi terhadap anak-anak dan orangtua yang dilakukan tim psikolog P2TP2A.

"Sama, kita semua juga marah pada pelaku setelah tahu ceritanya dari anak-anak, sangat keterlaluan, kita paham bagaimana marah dan kecewanya orangtua mereka," katanya.

Orangtua korban kebanyakan bukan orang mampu, berharap sekolah gratis di pesantren.

Ketua P2TP2A Garut Diah Kurniasari Gunawan didampingi tim psikolog saat memberikan keterangan pers kepada wartawan soal guru pesantren di Bandung perkosa 12 santriwatinya, Kamis, 9 Desember 2021 malam. Kebanyakan korban berasal dari Garut, Jawa Barat. (KOMPAS.com/ARI MAULANA KARANG)

Menurut Diah, P2TP2A menawarkan berbagai solusi kepada anak-anak dan orangtuanya terkait posisi anak yang dilahirkan dari perbuatan cabul guru ngajinya.

Bahkan, jika para orangtua tidak mau mengurusnya, P2TP2A siap menerima anak tersebut.

Sebab, menurut Diah, para orangtua korban bukan orang-orang yang tergolong mampu.

Mereka kebanyakan adalah buruh harian lepas, pedagang kecil, dan petani yang tadinya merasa mendapat keuntungan anaknya bisa masuk pesantren sambil sekolah gratis.

"Alhamdulillah, yang rasanya mereka (awalnya) tidak terima, namanya juga bayi, cucu darah daging mereka, akhirnya mereka rawat, walau saya menawarkan kalau ada yang tidak sanggup, saya siap membantu," katanya.

Kisah orangtua, Anaknya Melahirkan Dua Anak dari Rudapaksa HW

Begitu pula dengan orangtua korban yang anaknya memiliki dua anak dari guru ngajinya tersebut.

Menurut Diah, anak pertamanya berusia 2,5 tahun dan beberapa bulan lalu melahirkan anak kedua, orangtua dan anaknya mau merawatnya.

"Saya nengok ke sana (rumahnya), menawarkan (bantuan) kalau enggak sanggup merawat, ternyata mereka tidak ingin dipisahkan anaknya, dua-duanya perempuan," kata Diah.

Korban yang melahirkan paling akhir pada November 2021 lalu usianya masih 14 tahun.

Setelah melahirkan, dirinya pun menawarkan bantuan jika orangtuanya tidak sanggup mengurus, namun orangtuanya mau mengurus.

"Setidaknya, mereka sudah menerima takdir ini, nanti saya berencana mau nengok juga ke sana," katanya.

(*)



Deskripsi-Gambar
LihatTutupKomentar